Rabu, 08 Juni 2016

MANAJEMEN INFAQ

MANAJEMEN INFAQ

Kata infaq dalam bahasa Arab biasanya diartikan dengan sedekah. Yaitu memberikan sesuatu kepada orang lain karena berharap imbalan dari Allah Swt. Sebagaimana kata “nafkah” (nafaqah, derivatif infaq) berarti memberikan belanja kepada kerabat atau keluarga yang menjadi tanggungan. Hakekat kata infaq dalam bahasa Arab (anfaqa-yunfiqu-infaqan) memiliki arti lebih luas dari sekedar sedekah atau memberi uang belanja kepada keluarga.
Kata infaq anonoim dari kata iktinaz (kanz), yang berarti modal mati yang tidak dikembangkan dalam bentuk usaha atau yang tidak disedekahkan. “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih…”([1]Infaq berarti membelanjakan harta atau modal baik dalam bentuk investasi, produksi, konsumsi, maupun donasi. Tak sekedar sedekah yang bersifat sekarela.
Infaqu al maal (membelanjakan harta) menjadi fungsi dan tujuan utama kepemilikan harta atau modal. Allah Swt bangga dan cinta kepada hamba-hamba-Nya yang mensyukuri nikmat harta dengan berinfaq (investasi, produksi, konsumsi, donasi). Maka dijumpai banyak ayat maupun hadits yang mendorong kaum muslimin untuk berinvestasi, untuk konsumsi memenuhi kebutuhannya, maupun anjuran untuk bersedekah. Karena baik investasi, konsumsi, maupun donasi, merupakan sarana untuk memutar harta, agar tidak bergulir di kalangan tertentu. supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”([2]) Baik langsung atau tidak langsung perputaran harta melalui konsumsi, investasi bahkan donasi akan berpengaruh positif bagi perekonomian masyarakat.
Nilai suatu harta dalam Islam tak semata ditentukan oleh banyaknya (kuantitas) harta itu atau return yang diterima, melainkan juga oleh manfaat yang dimiliki oleh harta itu, baik manfaat bagi pemilik maupun orang lain. Karena itu, baik konsumsi, maupun donasi –yang secara lahir mengurangi harta- akan menjadikan suatu harta bernilai. Terdapat perbedaan pandangan kapitalisme dengan Islam dalam persoalan ini. Bagi kapitalisme, menyumbangkan harta adalah kemiskinan, karena mengurangi jumlah harta, sementara Islam menganggap bahwa dalam infak (sedekah) ada berkah dan jaminan pelipatgandaan oleh Allah Swt. Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui.”([3]“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.”([4])
Kapitalisme menganggap bahwa sedekah akan mengurangi harta, sementara Islam menganggap bahwa sedekah akan memberi manfaat maknawi dan materi bagi pelakunya. “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” ([5])
Bila infaqu al maal menjadi fungsi utama kepemilikan, maka menimbun harta dan menariknya dari peredaran usaha, bertolak belakang dengan maqashid al Khaliq, tujuan Allah dalam menganugerahkan harta kepada hamba-Nya. Infaq sejalan dengan sunnatullah, sementara iktinaz (penimbunan harta) berlawanan dengan sunnatullah, dan sekaligus kejahatan sosial.([6]“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih…”([7])
Dengan harta yang dimiliki seseorang bebas membelanjakannya. Ia bebas berinvestasi, bebas berproduksi, bebas mengkonsumsi, atau mendonasikan kepada orang lain. Kebebasan berinfak ini menjadi prinsip dalam ekonomi Islam. Akan tetapi kebebasan yang dimaksud bukanlah kebebasan mutlak tanpa nilai. Melainkan kebebasan yang terbingkai oleh kaidah dan aturan, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Allah dan juga sosial. Tiga aspek ekonomi Islam yang meliputiilahiyah (ketuhanan), ta`amuliyah akhlaqiyah (moralitas dalam hubungan dengan sesama) dan bi-ah (lingkungan)([8]) menjadi nilai-nilai yang membingkai kebebasan itu.
Dari tiga aspek ekonomi Islam itu dapat disimpulkan beberapa kaidah yang membingkai infaq atau membelanjakan harta:
  1. Kaidah istikhlaf (penguasaan)
Istikhlaf menjadi bentuk hubungan antara manusia dengan harta. Manusia adalah khalifah atas harta yang dimilikinya. Sementara pemilik hakiki adalah Allah Swt, Al maalu maalu Allahi. Semua yang ada dimuka bumi ini berada dalam kekuasaan Allah yang dikuasakan oleh-Nya kepada manusia agar dibelanjakan sebagaimana mestinya, yang tertuang dalam aturan syar`i. Allah Swt berfirman: Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya…” .([9])
Penguasaan istikhlaf ini, menurut Imam Zarkasyi, bukanlah penguasaan mutlak, manusia hanya wakil dari penguasa untuk membelanjakannya atau mengelolanya.([10]) Maka kegiatan ekonomi yang disebut dengan produksi, berdasar kaidah istikhlaf ini, hanyalah sebatas menciptakan manfaat dari materi yang telah diciptakan oleh Allah Swt, bukan menciptakan materi.([11])
Dari kaidah istikhlaf ini ada beberapa konsekwensi logis yang mesti diperhatikan dalam berinfak:
Pertama: manusia mesti tunduk dan taat kepada pemberi kuasa, Allah Swt. Seperti disebutkan oleh Imam Qurtuby, bahwa karena manusia hanyalah wakil yang diberi wewenang, maka semestinya ia menafkahkan harta itu sesuai petunjuk pemberi kuasa.([12]) Dengan demikian manusia tidak akan mencari dan mengumpulkan harta kecuali dengan cara yang halal, dan tidak membelanjakan harta kecuali dalam kebaikan (halaalan thayyiban).
Lebih lanjut ketaatan itu dimanifestasikan dalam bentuk penerimaan akan ketentuan dan aturan syar`i terkait dengan manajemen harta dan aset kekayaan.([13]) Diriwayatkan oleh Anas bin Malik, bahwa telah datang seorang sahabat dari Bani Tamim kepada Nabi Saw dan berkata: “Ya, Rasulallah, aku punya uang dan aset yang cukup banyak, beritahukan kepadaku apa yang harus aku perbuat dan bagaimana aku mesti membelanjakannya? Rasulullah menjawab: “Engkau keluarkan zakat hartamu, karena sesungguhnya zakat itu akan mensucikan dirimu, akan menyambung kekeluargaan dengan kerabatmu, dan memperjelas hak kaum miskin, fakir, dan peminta (yang membutuhkan).”([14])
Kedua: Manusia mesti mensyukuri nikmat yang telah diperoleh. Ungkapan rasa syukur merupakan bentuk pelestarian nikmat sekaligus jaminan tambahan kenikmatan. Barangkali kisah Qarun dan Kaum Saba`, seperti yang disebutkan dalam Al Quran, bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga akan urgensi syukur. Pengingkaran nikmat dan keengganan bersyukur akan berakibat kehancuran.
Maka Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).”([15])
“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.”([16])
Ketiga: hendaknya manusia dengan ikhlas dan ringan melepaskan sebagian harta yang ia kuasai ketika ada tuntutan syari`ah yang menghendakinya, ketika kewajiban ukhuwah memanggilnya. Bukankah harta itu bukan miliknya, melainkan milik Allah. Apakan sulit melepaskan sesuatu yang bukan menjadi milik pribadinya. Konon Abu Hanifah seorang pedagang sukses. Keuntungan dari perniagaan yang beliau peroleh dikumpulkan untuk kemudian dibelikan kebutuhan pokok yang diberikan kapada para ulama hadits. Dan beliau berkata: “Janganlah kalian memuji kecuali kepada Allah, karena sesungguhnya bukanlah aku memberikan hartaku kepada kalian, melainkan karunia Allah untuk kalian yang dititipkan kepadaku.”([17])
Keempat: Mamusia mesti membelanjakan harta dan asset yang dimilikinya, terutama belanja investasi dan produksi. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa fungsi dan tujuan diciptakannya harta adalah untuk diputar, bukan untuk ditimbun. Dan Islam telah memberikan arahan peredaran harta dan aset itu dalam bentuk infak konsumtif, produktif, investasi, dan sebagainya.
Konon, Bilal ‘radliyallahu `anhu, diberi lahan kosong yang cukup luas oleh Rasulullah Saw, agar dikelola dan diberdayakan. Saat Umar menjabat sebagai khalifah, ternyata tanah tersebut terlantar dan tidak produktif. Umar berkata kepada Bilal, “Rasul memberi anda lahan untuk digarap, bukan ditelantarkan. Silahkan garap seluas yang anda mampu dan kembalikan sisanya kepada negara.”([18])
  1. Kaidah Mashlahah
Secara bahasa mashlahah berarti manfaat. Manfaat yang dikehendaki oleh syariah adalah terpeliharanya agama, jiwa, akal, nasl (generasi), dan harta (ekonomi) yang kelimanya diistilahkan dengan al dlaruriyyat al khams (lima hal pokok yang menjadi tujuan syariah). Bila suatu kegiatan ekonomi tidak berakibat `dlarar` (membahayakan) pada kelima atau salah satu dari lima tujuan di atas, itulah mashlahah. Segala bentuk aktifitas ekonomi yang dihalalkan oleh agama melalui nash-nash Al Quran dan Sunnah adalah mashlahah, karena pasti akan bermanfaat bagi kehidupan manusia melalui pelestarian al dlaruriyat al khams itu. Dan setiap kegiatan ekonomi yang terlarang secara nash pasti akan mendatangkan mudharat bagi salah satu atau keseluruhannya.
Bentuk-bentuk aktivitas ekonomi yang selain termaktub dalam nash-nash, yang merupakan hasil ijtihad para ahlinya, selama tidak bertentangan dengan nash-nash Al Quran dan Sunnah dan tidak berakibat dlarar bagi tujuan-tujuan syariah adalah sah menurut agama.
Berikut contoh-contoh dari infaq yang berorientasi pada mashlahah:
 Dengan berzakat seseorang berarti melestarikan ajaran agama (hifdzu al dini), pada saat yang sama memelihara hartanya, karena zakat akan mensucikan harta dan mengamankannya dari gangguan orang lain,([19]) bahkan ada jaminan dari Rasul Saw bahwa tidaklah zakat dan sedekah itu mengurangi harta.”([20])
 Tidak membelanjakan harta yang dimiliki, baik konsumtif, produktif, maupun investasi pada komoditas yang diharamkan agama, karena dipastikan akan membahayakan salah satu al dlaruriyyat al khams. Seperti, minuman keras, narkoba, yang merusak akal; perjudian yang merusak perekonomian (hifdz al maal), dan sebagainya.
 Tidak israf dalam membelanjakan harta. Kata israf dalam infak mengandung banyak pengertian. Diantaranya, berinfak di luar batas kewajaran, membelanjakan harta tidak pada tempatnya, dan membelanjakan harta dalam kemaksiatan. Semua bentuk infaq tersebut termasuk dalam kategori israf. Ibnu Abbas dan Imam Syafi`i menafsirkan kata al mubadzirin dengan infak yang tidak pada tempatnya, seperti pada kemaksiatan. Hingga Ibnu Abbas berkata, “Berinfak seratus ribu dirham dalam ketaatan bukanlah israf, sementara membelanjakan satu dirham dalam kemaksiatan adalah israf.”([21])
  1. Kaidah Awlawiyat (Prioritas)
Kemampuan manusia terbatas, sementara kebutuhan manusia yang terbatas bisa saja berubah menjadi tak terbatas, bila unsur keinginan mengintervensi. Kaidah prioritas ini sesungguhnya akan menjembatani antara kemampuan yang terbatas itu dengan pemenuhan kebutuhan yang `kadang` tidak terbatas. Maka dikenallah dalam prioritas syariah itu istilah-istilah dlaruriyyat (primer), haajiyyat (sekunder), dan tahsiiniyat (tertier).
Kaidah awlawiyat ini juga menghendaki pemisahan antara kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan menjadi suatu yang asasi, urgen, dan mendesak untuk dipenuhi, bila tidak akan berakibat fatal. Berbeda dengan keinginan yang seringkali kehadirannya merupakan dorongan nafsu. Ketidakmampuan membedakan antara kebutuhan dan keinginan akan berakibat pada pelanggaran ekonomi terkait dengan hak sosial yang ada pada harta. Sebab agama menghendaki hak milik yang dimiliki individu bisa dinikmati juga oleh yang lain, “Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”([22])
Karena terdorong pemenuhan keinginan yang tidak terbatas sering orang lalai akan hak orang lain. Keinginan berubah menjaid kebutuhan yang mesti dipenuhi, sehingga bagian yang semestinya menjadi hak orang lain teralokasikan untuk pemenuhan keinginan itu. Maka dapat dipahami mengapa Umar pernah mengingatkan warganya, “Apakah setiap keinginan mesti anda penuhi?”
Manajeman infak diperlukan dengan maksud agar terwujud hifdz al maal (terlestarikannya modal umat). Karena, seperti yang dikatakan Said Hawa dalam Al Islam, mustahil membiarkan orang menikmati hal miliknya dengan tanpa aturan, tanpa manajemen, dan tanpa akhlak. Karena hal itu sama dengan menciptakan kekacauan, sekaligus pintu kehancuran ekonomi umat. Dan Islam sangat concern dengan kehidupan ekonomi yang teratur, termenej, dan terkendali secara rapi.[23]


([1] ) Al Taubah: 34.
([2] ) Al Hasyr: 7.
([3] ) Al Baqarah: 268
([4]Saba`: 39
([5]Fathir: 29-30
([6]) Ismail al Hasany, Nadhariyat al Maqashid `inda al Imam Muhammad al Thahir bin `Asyur, al MA`had al `Alamy li al Fikry al Islamy, Virginia-USA, Cet. I, 1416-1995, hal. 174.
([7] ) Al Taubah: 34.
([8] ) Husein Ghanim, al Iqtishad al Islamy: Thabi`atuhu wa Majalatuhu, Dar al Wafa`, Kairo, Cet. I, 1411-1991, hal.30-36.
([9] ) Al Hadid: 57.
([10]) Lihat Tafsir al Kasyaaf atas surat Al Hadid: 57.
([11] ) Yusuf Qardhawi, Daur al Qiyam wa Akhlaq fi al Iqtishad al Islamy, Maktabah Wahbah, Kairo, Cet. I, 1415-1995, hal. 43.
([12]) Lihat Tafsir al Qurthuby, surat Al Hadid ayat 7.
([13]Yusuf Qardhawy (1415 M-1995), hal 50.
([14] ) Al Mundziri, Al Muntaqa min al Targhib wa al Tarhiib, hadits no. 390; Yusuf Qardhawi, ha; 51.
([15]Al Qashash: 81.
([16] ) Saba`: 15-16.
([17] ) Lihat al Dzahaby, Manaqib al Imam Abu Hanifah, Dar al Kitab al `Araby, Mesir, hal. 29; Yusuf Qardhawi (1415 H-1995 M), hal. 50.
([18]) Abu Ubaid, al Amwaal, Hadits, No. 714.
([19] ) Al Taubah: 103.
([20] ) HR. Muslim dan Tirmidzi.
([21]) Lihat Tafsir Qurtuby, Surat Al Furqan ayat 67: Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”
([22] ) Al Hasyr: 7.
([23] ) Said Hawa, Al Islam, Dar Salam, KAiro, Cet. III, 1413-1995, hal. 409-410.

Sabtu, 19 Maret 2016

SKI Periode Klasik

Nama               : M Fikri Haikal
Kelas/Jurusan   : A/Manajemen Dakwah
Mata Kuliah     : Sejarah Kebudayaan Islam
Dosen               : Prof. Dr. H. Faisal Ismail, M.A

Nama Pengarang        : Prof. Dr. H. Faisal Ismail, M.A
Judul Buku                  : Sejarah dan Kebudayaan Islam Periode Klasik (Abad VII-XIII M)
Tahun Terbit               : 2015
Tempat Terbit             : Yogyakarta
Tebal Buku                 : 282 halaman
Panjang x Lebar Buku            : 16 x 23 cm
Penerbit                      : Gosyen Publishing

Islam telah melahirkan revolusi kebudayaan dan peradaban. Peradaban yang dimaksud adalah Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW telah membawa bangsa Arab yang semula terbelakang menjadi bangsa yang maju. Bahkan, kemajuan Barat pada mulanya bersumber dari peradaban Islam yang masuk ke Eropa melalui Spanyol. Islam sesungguhnya lebih dari sekedar sebuah agama, ia adalah suatu peradaban yang sempurna. Karena yang menjadi pokok kekuatan dan sebab timbulnya kebudayaan adalah agama Islam, kebudayaan yang ditimbulkannya dinamakan Peradaban IslamPemahaman terhadap ilmu sejarah menjadi penting bagi kalangan intelektual hukum (Islam) untuk melihat mata rantai antara satu kejadian dan kejadian lain sehingga tidak terjadi distorsi dalam menjustifikasi sebuah peristiwa hukum. Begitu pula, kajian sejarah menjadi alat ukur bagi kalangan intelektual dari berbagai disiplin ilmu dalam memilih dan memilah sejarah tersebut.
Abad ke-7 sampai ke-13 M merupakan momentum yang sangat bersejarah bagi kebudayaan dan peradaban Arab-Muslim. Perjuangan penyebaran dakwah Islam pada masa abad ke-7 sampai abad ke-13 M merupakan awal dari perkembangan kebudayaan Islam. Di dalam buku Sejarah dan Kebudayaan Islam Periode Klasik (Abad VII-XIII M), Prof. Dr. H. Faisal Ismail, M.A. menjelaskan secara terperinci sejarah  kebudayaan perkemabangan Islam (Abad VII-XIII M). Penulis juga menyuguhkan sejarah peradaban Islam secara gamblang yang diuraikan secara komprehensif dan komparatif.
Buku ini juga menyajikan materi-materi yang saling berkaitan antara 1 Bab dengan Bab yang lainnya. Di mulai dari pembahasan materi pada Bab 1,yang di dalam bab ini penulis menceritakan kejadian dan peradaban Arab Pra-Islam yang mana penjelasannya meliputi keadaan gografis, adat istiadat, kepercayaan dan pemerintahan Arab sebelum datangnya ajaran Islam. Dan pada bagian Bab 2,penulis menceritakan sejarah hidup muhammad dari momentum kelahirannya hingga masa dewasa Beliau dan menjelaskan masa Nabi Muhammad berkeluarga. Bab 3 dan Bab 4, pada bab ini pengarang menjelaskan misi gerakan dakwah Nabi Muhammad selama Beliau menyebarkan ajaran Islam di Mekkah dan Madinah. Dan kemudian pada Bab 5, memaparkan pemerintahan Islam seusai wafatnya Nabi Muhammad SAW yaitu masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Bab 6,7,8, pada 3 Bab terakhir ini pengarang menjelaskan Daulah pemerintahan sesudah masa kekhalifahan khulafaur Rasyidin, yaitu masa Daulah Umayyah di Damaskus,Daulah Abbasiyah di Baghdad, dan masa pemerintahan Daulah Umayyah di Andalusia.

Buku ini juga sangat cocok di gunakan bagi para pelajar ataupun masyarakat umum yang ingin memahami dan mengetahui sejarah kebudayaan Islam pada masa periode klasik. Karena dengan mengetahui sejarah kebudayaan Islam masa periode klasik tersebut kita memiliki gambaran perjuangan Nabi Muhammad, Khulafaur Rasyidin dan juga sahabat-sahabat Rasul. Tidak hanya itu saja, di dalam buku ini juga memaparkan kehidupan Arab Pra-Islam dengan gambaran geografis dan kondisi masyarakat pada saat itu. Dan dari segi bahasa yang digunakan dalam pembahasan di buku ini bisa dibilang ringkas, dan sederhana sehingga mudah untuk dipahami oleh para pembaca. Melalui bahasa yang lugas dan terstruktur, memberikan gambaran yang nyata dalam mengembangkan iamajinasi pembaca seolah-olah pembaca dapat menyaksikan kejadian pada masa perkembangan Islam dimasa lalu. Dari segi referensinya, buku ini juga memberikan banyak catatan kaki dan juga daftar pustaka, tidak hanya dari penulis lokal tetapi juga para penulis luar, seperti para penulis orientalis. Ini memberikan gambaran bahwa buku ini sebenarnya berusaha untuk merangkum informasi dari banyak sumber sehingga apa yang ditulis benar-benar menedekati keobjektifan sejarah secara utuh. Tapi di dalam buku ini tidak di jelaskan kisah-kisah peperangan yang terjadi pada masa perkembangan penyebaran ajaran Islam. Sehingga para pembaca tidak dapat menggambarkan perjuangan Rasul dan para sahabat di dalam memperjuangkan dakwah ajaran Islam. Dan juga buku ini tidak memaparkan gambaran peta masa pemerintahan daulah Islamiyah, sehingga para pembaca tidak dapat menggambarkan denah lokasi pada masa pemerintahan daulah Islamiyah tersebut.
Setelah membaca banyak hal yang terangkum di dalam buku yang tergolong sedang ini, telah banyak memberikan gambaran yang cukup luas tentang Sejarah kebudayaan Islam pada masa periode klasik dan segala ragam jenisnya yang meskipun dalam penyajiannya masih terbilang umum namun tetap bisa dijadikan pelajaran sejarah yang cukup bermanfaat bagi kita khususnya kamum muslimin. Selebihnya meskipun demikian, sebagai sebuah buku pengantar dalam kajian sejarah kebudayaan Islam, buku ini  cukup memadai, sekalipun tidak tertutup kemungkinan adanya kekurangan dari segi objektifitas sejarah yang diceritakan. Namun dengan melihat dari sisi referensi yang digunakan oleh penulis kiranya buku ini lebih dekat ke originalitas sejarah. Selain itu, tentang bagaimana sang penulis berusaha untuk memberikan pendekatan yang relevan dalam memberikan pengarahan pada para pembaca dengan menggunakan bahasa yang lugas, padat dan tepat serta sederhana sehinngga buku ini layak untuk dibaca siapa saja khususnya bagi kalangan umat Islam sendiri.